Gerai Teh Susu dari Henan Makin Populer, Pesaing Menjamur

Mixue Bingcheng perusahaan pengelola gerai teh susu asal Henan, saat ini sudah memiliki lebih dari 2.700 outlet dan masih jadi yang terbesar di antara waralaba gerai teh susu yang berbisnis di Indonesia. Diikuti WEDRINK, pendatang baru yang sudah mengoperasikan sekitar 100 gerai, dan MoMoYo, yang telah membuka lebih dari 500 outlet

Menurut konten yang dilansir 36kr.com akhir Juni silam, sejak tahun 2018, Asia Tenggara menjadi ladang baru bagi perusahaan pengelola gerai teh susu asal Tiongkok, dan mendorong terciptanya mitos dapat untung segera yang tercermin dalam ungkapan “penjualan satu hari melebihi 10.000 yuan” dan “penjualan tahunan meningkat 20 kali lipat”.

Dengan suhu panas yang dialami sepanjang tahun, bahan baku yang cukup, dan permintaan yang kuat. Dalam beberapa tahun terakhir Asia Tenggara dinilai sebagai “lahan subur untuk minuman berbasis teh”, dan Indonesia paling banyak mendapat perhatian.

Menurut data Momentum Works, konsumen Asia Tenggara menghabiskan US$3,66 miliar untuk minuman berbasis teh setiap tahunnya, dengan pangsa pasar Indonesia sebesar $1,6 miliar, atau 43% dari total pasar. Prospek pasar yang begitu besar tentu saja menjadikannya sebagai peluang yang harus dimanfaatkan oleh pengelola gerai teh susu seperti Mixue Bingcheng, Tianlala, Heytea, Nayuki, dan Shuyi Shaoxiancao.

Namun timbul pertanyaan, apakah pasar Indonesia telah dikuasai perusahaan pengelola gerai teh susu asal Henan?

Jika berbicara tentang perusahaan pengelola gerai teh susu asal Henan, perusahaa pertama yang harus diperhatikan adalah “Mixue Bing Cheng”.

Ketika ditanya bagaimana Mixue populer di pasar Indonesia, banyak pihak memberikan jawaban yang “sederhana” yakni karena Mixue yang menjadi pionir.

Tidak Ada Strategi Khusus

Sumber : Dokumentasi Wedrink

David, salah satu narasumber dalam industri teh di Tiongkok, mengatakan sekitar tahun 2018, pasar minuman berbasis teh di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pasokannya jauh lebih sedikit daripada permintaan karena persaingannya belum terlalu ketat, sehingga perusahaan pengelola gerai teh susu tidak perlu khawatir tentang penjualan. “Anda harus memiliki produk terlebih dahulu sehingga konsumen bisa memilih. Siapa pun yang memulai lebih dulu akan berhasil.”

Sebagai salah satu perusahaan pengelola gerai teh susu asal Tiongkok pertama yang “masuk ke Asia Tenggara”, Mixue membuka outlet pertamanya di Vietnam pada tahun 2018, yang juga dianggap sebagai titik awal ekspansi di pasar luar negeri. 

David mengenang Mixue menggunakan pasar Vietnam sebagai “sarana uji coba” guna membangun model bisnis yang sesuai untuk pasar luar negeri.

Pada bulan November 2018, Mixue resmi membuka waralaba di Vietnam, dan pada paruh pertama tahun 2019, telah membuka lebih dari 60 outlet. “Pada saat itu, semua orang merasa sudah saatnya melakukan ekspansi ke luar negeri.”

David mengungkapkan strategi ekspansi Mixue di Vietnam, perusahaan dengan cepat memindahkan sejumlah besar ekspatriat dari Tiongkok untuk melatih mereka dan membantu tim beradaptasi dengan kecepatan hidup baru serta memberikan pemahaman tentang pasar luar negeri.

Pada tahun 2020, Mixue Bingcheng resmi “masuk” ke Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara.

Dalam periode pengembangan pasar, Siapa yang berlari lebih cepat akan menang. Oleh karena itu, “memperluas jaringan outlet” menjadi prioritas utama Mixue di pasar Indonesia.

David menyebutkan mekanisme peninjauan pewaralaba yang digunakan di Tiongkok “tidak efektif” untuk diberlakukan di Indonesia, dan tim akhirnya sepakat memprioritaskan “membuka toko segera”.

Salah seorang pewaralaba mengingat, persyaratan membuka gerai pada saat itu sangat mudah. ​​”Wawancara, verifikasi modal, dan penilaian tidak terlalu ketat. Anda hanya perlu berbicara dengan pihak manajemen dan memberi tahu mereka ingin membuka toko, yang penting lokasinya harus berada di Asia Tenggara.”

Dengan mengandalkan keunggulan hemat biaya karena menggunakan sistem rantai pasokannya sendiri, mendorong penekanan pengeluaran yang sangat ekonomis”, dan model waralaba yang persyaratannya tidak ketat, serta metode pemasaran mereknya yang telah berulang kali diverifikasi di Tiongkok, Mixue telah menarik minat banyak pewaralaba di Indonesia..

“Secara umum, margin laba kotor gerai front-end Mixue di Indonesia berkisar antara 55% hingga 60%. Dengan biaya sewa dan tenaga kerja rendah. Sewa bulanannya dikisaran 2.000 hingga 3.000 yuan (sekitar Rp 4,5 juta sampai Rp 6,75 juta), dan gaji karyawannya antara 1.000 hingga 2.000 yuan (sekitar Rp 2,25 juta sampai Rp 4,5 juta). Jika satu gerai menjual rata-rata 200 cangkir sehari, akan bisa menghasilkan uang yang tak terbatas.” 

David mengatakan ketika bisnis sedang dalam kondisi terbaiknya, penjualan bulanan satu gerai sekitar 300.000 yuan (sekitar Rp 675 juta0, dan investasinya bisa kembali dalam waktu sekitar satu tahun. 

Ketika kelompok pewaralaba awal yang “mengambil risiko” mulai menghasilkan laba yang signifikan, gelombang pengikut segera bergabung dan segera mendorong peningkatan jumlah gerai di Indonesia.

Setelah Mixue sukses, perusahaan pengelola gerai teh susu asal Henan tidak mau ketinggalan dan mulai masuk pasar Indonesia.

Kandungan Gula Lebih Banyak 30%

Feng Xingcheng, pendiri perusahaan pengelola gerai teh susu Momomiya asal Henan, yang telah berkecimpung di industri ini selama lebih dari 20 tahun, mengatakan pasar teh Henan dimulai pada tahun 2006. Sejumlah perusahaan pengelola gerai teh susu asal Taiwan yang mengandalkan rasa susu yang kuat dan rasa manis telah memberikan dampak yang besar pada pasar teh lokal, menjadi rujukan produk minuman berbasis teh di Henan dengan teh susu mutiara, teh buah segar, dan “minuman manis” lainnya sebagai produk intinya.

Wang Xiaowei, pendiri Yikai Brand Consulting, menyebutkan dari perspektif permintaan, Henan adalah provinsi terpadat di Tiongkok, dengan jumlah pelanggan potensial yang besar. Selain itu, mengikuti prinsip universal “harga menentukan volume”, banyak perusahaan asal Henan  bersaing dengan menerapkan strategi harga rendah guna menghadapi perusahaan pengelola gerai teh susu dari utara China yang mematok harga jual dikisaran 20-30 yuan.

Sementara Indonesia dilihat sebagai negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, kaum muda berusia 15-39 tahun mencakup 41% dari populasi. Struktur populasi muda menjadikannya pasar konsumen terbesar di Asia Tenggara.

Menariknya, bubble milk tea asal Taiwan pertama kali diperkenalkan di Singapura pada tahun 1992, dan sudah sangat populer dalam 30 tahun terakhir di Asia Tenggara, sejumlah merek milk tea Taiwan seperti CoCo, Gongcha, Chatime, dan KOI telah hadir silih berganti dan melakukan edukasi pasar yang memadai. Bubble milk tea Taiwan dan brown sugar milk tea juga telah lama populer.

Menurut data dari platform pengiriman makanan GrabFood, volume pesanan bubble milk tea terus tumbuh pesat di Asia Tenggara sejak tahun 2018. Di antaranya, volume pesanan di Indonesia pada tahun 2018 meningkat hingga 8.500%; statistik dari Momentum Works menunjukkan pasar bubble milk tea Asia Tenggara mencapai US$3,66 miliar pada tahun 2021.

Dalam konteks ini, strategi harga rendah yang digunakan perusahaan pengelola gerai teh susu asal Henan telah menjadi “senjata” terbaik untuk membuka pasar.

“(Mixue) secara langsung menurunkan harga ‘boba’.” David menuturkan kepada Cankaojun bahwa gaji bulanan rata-rata orang Indonesia sekitar 1.000 yuan (sekitar Rp 2,25 juta), sedangkan secangkir teh susu Taiwan harganya sekitar 15-20 yuan. Meskipun banyak orang yang gemar minum teh susu mutiara, namun sering kali terhalang seleranya karena harga yang mahal.

Setelah Mixue membuka gerai, menu keseluruhannya disesuaikan dengan selera setempat, dan harga per cangkir tidak lebih dari 10 yuan (sekitar Rp 22,500), yang dengan cepat menarik banyak pelanggan. Saat jumlah outlet Mixue mencapai 1.000 gerai di Indonesia, dalam sebulan harus mengimpor ‘boba’ ’sekitar 40-50 kontainer 40 kaki..

Konsumen Indonesia Suka Minuman Manis

Pilihan minuman konsumen di Indonesia bertolak belakang dengan tren di Tiongkok yang mengurangi gula. Pemerintah Tiongkok membuat peraturan yang mengharuskan perusahaan pengelola gerai teh susu mengurangi gula hingga 30%, sedangkan di Indonesia, gula harus ditambah hingga 30%. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan yang menjual produk teh sehat yang “berfokus pada teh” tidak mampu bersaing di pasar Indonesia.

Dilihat dari penjualan produk Mixue dalam 4 tahun terakhir, selain bubble milk tea, es krim dan teh buah segar juga sangat populer di kalangan konsumen setempat. Tidak perlu dijelaskan lagi tentang kecintaan orang Indonesia terhadap es krim. Setengah dari penjualan gerai teh susu Mixue berasal dari produk es krim.

Sementara untuk produk teh buah segar, terdapat kesalahpahaman terkait pasokan bahan baku lokal dan tren minat konsumen. Meskipun Indonesia kaya akan buah-buahan tropis, namun konsumen lebih menyukai rasa buah persik, apel, dan anggur yang jarang ditemukan di Indonesia.Produk Grape Taro Balls dan Peach Four Seasons Spring merupakan produk yang banyak diminati konsumen lokal.

Banyak Jebakan Saat Masuki Pasar Indonesia

Pasar produk teh di Indonesia saat ini dinilai sudah sangat kompetitif, dan banyak merek berbondong-bondong ke Asia Tenggara untuk mencari ruang pertumbuhan baru. Beberapa diantaranya telah menemukan saluran kedua untuk mempertahankan pertumbuhan, sementara yang lain telah “mengeluarkan jutaan dolar, namun tidak mendapat respons yang setimpal, dan akhirnya menarik diri.”

Berdasarkan pengalaman Mixue Bingcheng di luar negeri, terlihat ada banyak faktor yang dinilai dapat menjadi jebakan.Salah satunya ketika tim Mixue pertama kali tiba di Indonesia, penerjemah pertama yang bekerja sama dengan mereka sedang menegosiasikan harga dengan pemilik lahan, “yang berbicara tentang suap dalam bahasa lokal di depan semua orang.” 

Untungnya, seorang kolega yang cermat merekam pembicaraan itu dan memberikannya kepada seorang teman baik untuk diterjemahkan, dan menemukan masalahnya. Namun, dalam kerja sama jangka panjang perusahaan dengan mitra setempat, situasi seperti itu “sulit untuk dihindari.”

Solusi Mixue adalah melakukan pekerjaan “lokalisasi” dengan baik, dan terus memperdalam keakraban ekspatriat dengan pasar lokal selama lebih dari 300 hari masa tinggal mereka di luar negeri setiap tahun; dan pada saat bersamaan, membangun tim manajemen lokal yang kuat..

Wang Shizhou, Sekretaris Jenderal Komite Minuman Kopi dari Asosiasi Manajemen Rantai Henan, juga menunjukkan bahwa manajemen karyawan merupakan masalah utama yang dihadapi perusahaan pengelola gerai teh susu saat memasuki pasar Asia Tenggara.

“Karena perbedaan kepribadian dan budaya, sering kali ada masalah ketidakstabilan tenaga kerja. Saat ini, banyak merek secara bertahap membina tim manajemen lokal, dan menggunakannya untuk mengelola karyawan, serta secara bertahap menanamkan budaya perusahaan dan filosofi manajemen kami ke dalam komunitas lokal.”

Selain faktor “orang”, faktor lainnya yang juga menjadi kendala utama adalah “barang” dan ini  juga menjadi ujian bagi kemampuan rantai pasokan perusahaan.

Untuk siklus pengiriman barang ke luar negeri dibutuhkan waktu sekitar 40-60 hari. Misalnya, siklus pengiriman barang Mixue adalah 65-70 hari, yang berarti ada stok barang selama 60 hari di gudang, persediaan selama 60 hari ‘mengambang’ di laut, dan pabrik masih memproduksi persediaan selama 60 hari.”

Menurut Wang Shizhou, hal ini merupakan tantangan utama bagi perusahaan pengelola gerai teh susu untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, dan mereka menghadapi kesulitan untuk menanggung tekanan rantai pasokan yang begitu berat. Selain itu, perusahaan yang merambah pasar Indonesia juga perlu memiliki pemahaman mengenai kondisi pasar luar negeri, didukung kekuatan finansial yang memadai, dan kemampuan untuk terhubung dengan sumber daya lokal.

Lebih lanjut Wang menjelaskan, besarnya potensi perusahaan rantai pasokan untuk merambah ke luar negeri sangat cerah. “Saat ini, beberapa perusahaan rantai pasokan hulu di Tiongkok, seperti produsen cone renyah, cangkir, selai, dan lainnya, telah mendirikan pabrik di Indonesia, guna mengantisipasi semakin banyaknya perusahaan pengelola gerai teh susu yang membuka outletnya di Indonesia di masa mendatang, yang juga akan memicu menguatnya permintaan bahan baku. Dengan memiliki lokasi produksi dan layanan di Indonesia pasti akan memiliki lebih banyak keuntungan, yang juga merupakan peluang besar bagi perusahaan rantai pasokan.”

Diperkirakan pasar minuman berbasis teh Asia Tenggara, yang didominasi konsumen Indonesia, masih dalam masa bonus dan diproyeksikan berlangsung selama 2-3 tahun kedepan.Keunggulan biaya dan harga jual rendah yang diterapkan Mixue selama bertahun-tahun akan sulit digoyahkan dalam jangka pendek. 

Untuk perusahaan pengelola gerai teh susu yang berminat masuk pasar Indonesia,disarankan untuk menghindari ‘medan perang’ di level nasional dan memfokuskan pada pengembangan merek regional dengan menekankan ciri khas setempat.