Guna menghindari stres akibat kepadatan lalu lintas, khususnya di wilayah Jakarta yang kian parah dan juga untuk dapat lebih menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, merupakan dua alasan utama yang sering dikemukakan untuk menjelaskan perlunya diberlakukan sistem telecommuting atau bekerja di rumah.
Saat ini, hampir satu miliar pekerja di seluruh dunia bekerja di rumah, namun masih banyak manajemen perusahaan yang meyakini bahwa karyawan yang bekerja di rumah akan mengurangi produktifitas perusahaan secara keseluruhan.
Namun sejumlah hasil penelitian justru menunjukkan karyawan yang bekerja dari rumah justru lebih produktif, tentunya dengan menggunakan sejumlah perangkat bantu yang mendukung.
Salah satunya adalah yang diterbitkan The Quarterly Journal of Economics Edisi Februari 2015, yang menampilkan hasil riset Professor Nicholas Bloom dari Stanford Graduate School of Business mengenai produktifitas pegawai di situs travel CTrip, perusahaan penyedia layanan travel yang berkantor pusat di Shanghai, Cina dengan jumlah pegawai 20.000 orang dan kapitalisasi pasar sekitar US$ 20 Miliar ini memberikan kesempatan kepada setengah dari karyawan di divisi Call Center untuk bekerja dari rumah empat hari sepekan dan satu hari di kantor selama Sembilan bulan, sementara setengah sisanya tetap bekerja di kantor.
Pimpinan perusahaan, yang sebelumnya sudah menyadari mahalnya harga sewa property di Shanghai, sangat tertarik untuk mengetahui dampak dari bekerja di rumah khususnya bagi pertumbuhan perusahaan dan di saat bersamaan dapat menekan biaya sewa ruang kantor.
Hasil riset menunjukan para pegawai yang bekerja dari rumah, tidak hanya lebih produktif dibanding karyawan yang bekerja di kantor, tapi juga lebih bahagia dan tidak terlalu berminat untuk segera mengundurkan diri. Para pegawai yang melakukan pekerjaan dari rumah menunjukan peningkatan kinerja sekitar 13.5 persen per harinya dibanding grup yang bekerja di kantor, yang bila diakumulasikan hampir setara dengan tambahan satu hari kerja per minggunya.
Menurut Bloom, ada dua alasan yang melandasi hasil risetnya di Ctrip
, pertama pegawai yang bekerja di rumah menggunakan waktu dengan sepenuhnya, tanpa terganggu masalah kemacetan yang biasanya menyebabkan terlambat masuk kantor, waktu makan siang yang kelamaan dengan teman atau pulang ke rumah lebih cepat karena ada peralatan kantor yang harus diperbaiki.
Kedua, pegawai yang bekerja di rumah lebih berkonsentrasi. Karena lingkungan kantor pada umumnya sangat berisik, terutama dengan adanya berbagai undangan dan pengumuman seperti ada yang baru kembali dari tugas luar kota membawakan makanan khas dari kota yang dikunjungi dan mengundang pegawai lain untuk mencicipi, ada pegawai yang akan berhenti, mengundang untuk hadir dalam acara perpisahannya, atau ada acara nonton bersama pertandingan Sepakbola. Intinya lingkungan kantor sangat amat mengganggu.
Meski sistem bekerja di rumah memiliki sejumlah sisi positif, namun setiap perusahaan yang berencana menyediakan pilihan itu kepada karyawan, juga harus memberikan perangkat bantu yang memadai guna memaksimalkan produktifitas pekerja, antara lain dengan menggunakan platform komunikasi terintegrasi, termasuk didalamnya pesan instan, pangggilan suara dan video yang lebih sederhana dan ramah bagi pengguna serta menggunakan perangkat berbasiskan sistem awan atau cloud.
Platform terintegrasi ini mengurangi sekat diantara sistem komunikasi perusahaan yang berbeda dan membuat tim dapat melakukan kolaborasi secara efektif, memaksimalkan kolaborasi dan meningkatkan produktifitas. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan bagi perusahaan jika ingin mengaplikasikan sistem bekerja di rumah, yakni pekerja jadi sangat bergantung pada jaringan.
Sejumlah pemerintah di mancanegara telah menyadari pentingnya sistem bekerja di rumah dan telah memfasilitasinya dalam bentuk peraturan perundangan, baik dengan membuat yang baru atau merevisi peraturan yang sudah berlaku, salah satu contohnya ialah Pemerintah Inggris yang sejak pertengahan tahun 2014 telah merevisi peraturan mengenai bekerja di rumah (flexible working policy) yang awalnya hanya diperuntukkan bagi pegawai yang ingin merawat anak, namun penerapannya terlebih dahulu harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti minimal sudah bekerja dengan perusahaan saat ini selama 26 minggu atau kurang lebih 6 bulan, dan mengajukan permohonan kepada perusahaan disertai alasan meminta bekerja di rumah.
Di Amerika Serikat, ketentuan mengenai bekerja di rumah tidak dimuat dalam The Fair Labor Standards Act (FLSA), namun diberikan kebebasan kepada perusahaan dan pegawai untuk melakukan kesepakatan mengenai bekerja di rumah. Sejumlah perusahaan multinasional asal Amerika Serikat antara lain Cisco, IBM, Symantec, Oracle, Aetna, Hewlett-Packard, Cigna, AT&T dan Master Card telah memberlakukannya.
Selain kedua negara diatas, banyak perusahaan di negara lainnya seperti Jerman, Italia, Perancis, Australia, dan Jepang yang telah memberlakukan sistem telecommuting, telework atau istilah lainnya yang mengacu pada bekerja di rumah.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sampai saat ini, Pemerintah Indonesia masih belum memiliki Undang-undang yang mengatur tentang sistem bekerja di rumah, namun sejumlah perusahaan baik lokal maupun multinasional telah menerapkan bagi para pegawainya seperti Praxis PR, IBM Indonesia, Accenture Indonesia dan Opera Indonesia.
Kedepannya sangat diharapkan semakin banyak lagi perusahaan di Indonesia, baik skala kecil, menengah maupun besar yang menerapkan sistem bekerja di rumah, terutama di sektor teknologi, jasa, media dan e-commerce, serta sektor lainnya, tentunya dengan melakukan penyesuaian atau modifikasi sesuai dengan kebutuhan dari bidang usahanya, agar para pegawai dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam menyelesaikan tugas terkait pekerjaan kantor, serta dapat memiliki waktu yang lebih lama bersama keluarga. (AR)
